Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan putih bersih seperti kertas. Tinggal takdir yang menentukan akan
diisi dengan apa kertas itu. Dalam hidup seorang anak, orangtualah yang
berperan membentuk karakter anak. Entah anak itu berperilaku baik atau buruk
semua tergantung dari didikan orangtua. Tidak ada orangtua yang ingin
menjerumuskan anaknya. Tetapi semua itu tidak berlaku padaku.
Namaku Cindy, aku anak
pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Ari. Aku hidup sebagai anak broken
home. Papa dan mamaku pisah ketika aku berumur 6 tahun dan adikku berumur 4 tahun.
Aku ikut dengan papaku sedangkan adikku ikut dengan mamaku. Sejak saat itu aku
tidak pernah bertemu dengan mereka.
Karena kehidupan kami
yang kurang stabil akhinya aku dan papaku tinggal dirumah paman dan bibi untuk
sementara. Disinilah awal penderitaanku dimulai. Setiap hari aku harus
mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk membantu nenek masak. Papaku tidak
mengetahui semua itu karena papa sudah pergi kerja sejak subuh. Sebagai seorang
anak aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti semua perintah paman dan
bibiku.
Suatu hari aku melihat
sepupuku sedang bermain bersama teman-temannya, dengan perasaan senang aku ikut
bermain dengan mereka. Tidak berapa lama kemudian bibiku dating menghampiriku.
Dia marah dan memakiku. Sebagai anak kecil aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain menangis. Aku hanya bisa menangis mendengar makian bibi yang bilang aku
tidak tahu diri, tidak tahu terima kasih dan cuma bisa nyusahin papaku saja.
Sejak saat itu aku tidak pernah pergi bermain lagi. Disaat semua sepupuku main
aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela sambil membersihkan rumah. Aku
sangat sedih, kenapa aku harus kehilangan masa kecilku sedangkan teman seumurku
sedang asyik menikmati masa kecilnya.
Beberapa bulan kemudian
aku masuk sekolah. Aku sangat senang karena aku memiliki sedikit waktu untuk
bertemu teman-teman. Disekolah aku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi
seorang anak dan bermain dengan riang tanpa beban. Semua keriangan itu hanya
berlaku disekolah, sepulang sekolah aku kembali jadi upik abu. Tetapi aku tetap
merasa bahagia karena aku memiliki papa.
Beberapa bulan kemudian
papaku pergi ke Jakarta untuk mengadu nasip dan aku tinggal di Pekanbaru
bersama paman dan bibi. Awalnya aku tidak rela ditinggal papaku, tapi akhirnya
aku rela karena ingat janji papa untuk menjemputku. Setelah papa pergi hidupku
jadi semakin tersiksa. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama karena 11 bulan
kemudian papaku datang untuk menjemputku. Alangkah senangnya aku, apalagi saat
itu papaku sudah memiliki istri di Jakarta. Dengan riang aku dan papa pergi ke
Jakarta. Di jalan aku sangat bahagia. Aku membayangkan hidup bahagia bersama
keluarga yang utuh dan tidak menjadi upik abu lagi.
Ternyata angan dan
kenyataan tidak selamanya sama. Karena kenyataan yang kudapat justru
sebaliknya. Aku mendapat ibu tiri yang kejam dan jahat. Saat itu aku belum
pernah nonton film tentang ibu tiri yang kejam, jadi aku tidak pernah tahu ada
ibu tiri yang kejam. Yang ada dipikiranku saat itu adalah kebahagiaan punya ibu
baru.
Sejak saat itu aku
mendapat penyiksaan yang kejam dari ibu tiriku. Aku tidak bisa mengadu pada
papa karena sikap dia padaku akan berubah seratus delapan puluh derajat didepan
papa. Dan ancamannya membuat aku takut untuk mengadu. Untungnya Tuhan masih
sayang padaku karena 8 tahun kemudian papa melihat ibuku sedang menyiksaku,
akhirnya tanpa berpikir panjang papaku menceraikan istrinya. Aku sangat senang
karena bisa terlepas dari penderitaan ini, tetapi aku juga sedih melihat papa
hidup sendiri tanpa pendamping. Sejak saat itu aku hidup hanya berdua dengan
papa.
5 tahun kemudian papaku
menikah lagi dengan janda beranak satu. Pernikahan ini tanpa sepengetahuanku.
Istrinya pun masih sangat muda yaitu 25 tahun. Awalnya aku sedih karena papa
menikah tanpa ijin dariku tapi akhirnya aku terima semua dengan ikhlas. Awalnya
kami hidup dengan baik, tetapi lama kelamaan sikap istrinya berubah. Mungkin
ini sikap asli dari istrinya. Dibelakang papa dia selalu menyindir dan
menghinaku. Selain itu setiap papa memberiku uang dia pasti marah. Dan anehnya
papaku selalu membela istrinya. Setiap hari ada saja laporannya kepada papaku.
Sejak saat itu hidupku berada dineraka, belum lagi anaknya yang selalu buat
ulah padaku.
Makin lama hubunganku
dengan papa semakin renggang. Sampai akhirnya aku dan papa tidak pernah
bertegur sapa. Sekalinya pada menyapaku hanya untuk marah padaku. Setiap papa
marah kata-katanya selalu menyakiti hatiku. Mulai bilang aku anak yang tak tahu
diri sampai bilang sifatku sama kaya mamaku, dia juga menyuruhku ikut mama.
Saat itu aku sudah bertemu dengan mama kandungku. Akhirnya aku memilih tinggal
ditempat mama untuk sementara waktu menenangkan diri. Bukan ketenangan yang ku
dapat malah kesakitan. Mamaku selalu memperlakukan aku sebagai orang lain,
bukan sebagai anak. Dia juga selalu membela anak-anaknya yang nakal kepadaku.
Yang paling menyedihkan dia bilang aku ini anak papa, bukan anak dia. Dia lebih
milih anaknya dibanding aku.
Aku sudah memaafkannya
karena telah meninggalkan aku, tetapi dia selalu menyakiti hatiku. Yang paling
menyakitkan adalah dia menuduh aku hanya mau uangnya saja dan menyuruhku ikut
papa. Padahal aku sangat merindukannya. Sejak saat itu aku sangat membenci
orangtuaku. Aku selalu berpikir kenapa harus aku aku yang mengalami ini. Kenapa
bukan adikku atau temanku.
Aku lahir karena cinta
mereka, aku hidup karena sayang mereka. Aku adalah sebagian dari diri mereka
berdua. Tapi kenapa mereka memperlakukan aku seolah-olah aku adalah kesalahan
terbesar mereka. Bukan aku yang minta dilahirkan, jika tahu begini aku juga
tidak ingin dilahirkan. Ma, Pa tolong lihat aku, aku ini anakmu bukan sampah
yang bisa kalian buang sesuka hati.
Kini aku hanya bisa
pasrah dengan semuanya. Aku akan tetap melanjutkan hidupku ditempat lain yang
jauh dari orangtuaku. Mungkin aku bukan apa-apa bagi mereka dan ada atau tidak
adanya aku dalam hidup mereka hasilnya akan sama. Mungkin tidak ada aku hidup
mereka jauh lebih menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar